Hello Fellas! Apa kabar?
Pada tulisan ini, aku mau cerita sedikit tentang ga(m)but.
Oke oke, bukan gabut tapi gambut.
Jadi, pada seminar Pemetaan Gambut yang diadakan oleh
Yayasan Dr. Sjahrir pada tanggal 31 Oktober 2017 lalu, membahas banyak mengenai
pemetaan gambut
Ada apasih dengan gabut...? jadi gabut di Indonesia itu
sangat amat banyak, menurut World Resources Indonesia, Indonesia memiliki lahan
gambut sebesar 11-14 Juta hektar dan mengandung 22.5-43.5 gigaton kandungan
karbon. Jumlah yang fantastik bukan? Lahan gambut tersebut terdapat di Sumatera
Barat, kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Kenapa sih kita harus tau tentang gambut?
Jadi gambut itu adalah sebuah lahan yang berada diatas
genangan air dan mengandung karbon. Biasanya diatas tanah gambut itu adalah
hutan ataupun rumput atau tanaman kecil. Namun, apabila lahan yang tanahnya
gambut dialihfungsikan dengan cara dibakar, maka karbon yang terdapat didalam
tanah tersebut akan keluar dan menyebabkan gangguan asap yang cukup berbahaya. Seperti
halnya yang terjadi di Bengkulu tahun 2015 kemarin misalnya. Pembakaran hutan
di area lahan gambut menyebabkan pencemaran polusi yang tak terkira bukan? Faktanya
emisi dari setiap hektar gambut tropis yang dikeringkan sama dengan 55 ton
Karbon Monoksida (CO) atau setara dengan membakar lebih dari 6000 galon bahan
bakar. Dan fakta selanjutnya adalah Indonesia menduduki peringkat ke-4 dengan
emisi karbon dioksida terbanyak di dunia. Ada lebih dari 500.000 kasus penyakit
sistem pernapasan yang disebabkan oleh asap di Asia Tenggara.
Nah, terus gimana dong ya mitigasi bencananya ?
Sebuah lembaga, yaitu Badan Restorasi Gambut dibentuk untuk
merestorasi 2 juta hektar gambut yang tergradasi sampai tahun 2020. Restorasi gambut
yang dimaksud adalah mengkoordinasikan restorasi gambut dan memfasilitasi
restorasi gambut.
Restorasi gambut tersebut berfungsi untuk :
- 1. Koordinasi dan penguatan kebijakan
- 2. Perencanaan, pengendalian, dan kerja sama
- 3. Pemetaan hidrologis Gambut
Terus bagaimana langkah awal dalam merestorasi gambut ?
Beberapa lembaga seperti BRG (Badan Restorasi Gambut), RREG,
dan BIG dan didukung oleh Yayasan Dr. Sjahrir melakukan suatu pemetaan gambut
yang berbasis dengan ketentuan one map
policy. Dimana one map policy ini
diperlukan sebagai acuan agar pemetaan yang dilakukan berdasar kepada satu
referensi BIG, satu basisdata, satu geoportal, dan satu standar. Sehingga,
menghasilkan peta yang kesesuaiannya dapat dipertanggungjawabkan di lapangan. Mengapa
harus one map policy? Hal ini dilakukan untuk memperbaiki dan mencegah
data-data yang saling tumpang tindih dan ketidakserasian antar data akibat perbedaan
sumber, standar dan lain sebagainya tersebut.
Lalu bagaimana melakukan pemetaan gambut?
Yaitu bisa dengan cara pemetaan lapangan, interpretasi citra
satelit, pemetaan dengan LiDAR (Light Detection and Ranging), ataupun Gelombang
Elektronik.
Yaa, sekian informasi dari aku. Semoga bermanfaat :)